Batalkan Tuduhan Ujaran Kebencian Terhadap Aktivis Keberagaman

(TEMPO/ Gunawan Wicaksono ; 20050726)

Merespon penetapan aktivis keberagaman agama dari Sumatera Barat, Sudarto, sebagai tersangka dalam kasus ujaran kebencian, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan:

“Sudarto membela hak minoritas agama untuk beribadah. Kebebasan berekspresinya harus dilindungi dan tidak ada dasar untuk penahanannya. Tuduhan ini harus dibatalkan segera.”

“Undang-Undang ITE seringkali dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk membatasi kebebasan berekspresi. Aturan ini multitafsir karenanya harus direvisi atau dibatalkan.”

Latar Belakang

Pihak berwenang di Indonesia menuduh Sudarto menggunakan media sosial untuk menyebarkan ujaran kebencian. Mereka menjerat aktivis keberagaman ini dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan tahun 2008.

Sudarto mengkritik larangan perayaan dan ibadah Natal di Nagari Sikabau, Dharmasraya, Sumatera Barat lewat akun pribadinya. Sebelum ditangkap, Sudarto dibawa ke markas Kepolisian Daerah Sumatera Barat oleh delapan petugas.

Penangkapan Sudarto dilakukan setelah ada pelaporan warga yang menuding ia menyebarkan ujaran kebencian. Pelapor mengklaim tak ada pelarangan ibadah Natal di wilayah itu.

Kasus kontroversial lain yang melibatkan UU ITE adalah Baiq Nuril, seorang guru sekolah dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia kemudian diberi amnesti oleh Presiden Jokowi pada pertengahan 2019. Meski demikian, ratusan orang telah ditindak di bawah UU ITE sejak tahun 2011.

Tahun 2018 misalnya, seorang penulis bernama Alnoldy Bahari dipenjarakan akibat dakwaan ujaran kebencian akibat unggahannya di media sosial.

UU ITE berisi pasal-pasal yang multitafsir dan dimanfaatkan oleh pihak berwenang untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, berpikir dan beragama di Indonesia.