Foto: Amnesty International

DPR Harus Menjadi Pionir Penghapusan Hukuman Mati yang Melanggar HAM

Posted by humanrights | Apr 10, 2019

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengkaji segala peraturan perundang-undangan yang mengatur ancaman hukuman mati. Saat ini, semakin banyak negara lain di dunia yang meninggalkan bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi tersebut, salah satu yang terdekat adalah Malaysia, kata Amnesty International saat meluncurkan laporan global tahunannya tentang hukuman mati hari ini.

Menurut Amnesty International, eksekusi mati secara global pada tahun 2018 mengalami penurunan hingga 31%, dari 993 eksekusi di tahun 2017 menjadi 690 di tahun 2018. Angka ini merupakan jumlah terendah dalam satu dekade terakhir. Penjatuhan vonis mati secara global juga mengalami penurunan menjadi 2.531 di tahun 2018 dari sebelumnya 2.591 di tahun 2017.

Negara-negara di dunia juga telah melakukan perubahan legislasi untuk meninggalkan hukuman mati tahun 2018. Di awal tahun 2018, Presiden Gambia mendeklarasikan moratorium eksekusi mati. Di pertengahan tahun, Burkina Faso menghapuskan hukuman mati dari hukum pidana negara tersebut. Lalu di akhir tahun, Malaysia mengumumkan akan mereformasi undang-undang hukuman mati setelah sebelumnya melakukan moratorium eksekusi mati. Pada waktu yang hampir bersamaan, Negara Bagian Washington, Amerika Serikat mengumumkan bahwa hukuman mati inkonstitusional.

Sebagai badan legislatif kekuasaan, peran DPR sangat penting dalam menghapus hukuman mati guna memperkuat beberapa perkembangan positif di dunia, termasuk yang telah pemerintah lakukan di forum PBB. Pemerintah kembali “abstain” pada resolusi moratorium hukuman mati putaran ke-7 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) pada Desember 2018 lalu. Keputusan ini konsisten dengan posisi dalam putaran UNGA empat tahun sebelumnya.

Selain itu, sikap pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium eksekusi mati pada tahun 2017 dan 2018 juga patut diapresiasi. Moratorium de facto tersebut harus segera diformalkan dalam bentuk kebijakan negara, sesuatu yang hanya dapat dicapai dengan peran aktif DPR.

“Sebagai langkah awal perubahan perundang-undangan, DPR dapat memanggil Jaksa Agung serta Menteri Hukum dan HAM untuk mengkaji penerapan hukuman mati yang dalam praktiknya banyak terjadi masalah seperti unfair trial, termasuk penyiksaan hingga ketiadaan pendamping hukum tersangka ,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

“DPR juga perlu meminta pandangan Menteri Luar Negeri terkait kecenderungan global yang meninggalkan hukuman mati. Sebagai negara pihak Konvensi Anti Penyiksaan, DPR perlu memastikan konsistensi Indonesia dengan komitmen internasionalnya melalui penghapusan hukuman mati. Sebagai negara kunci di ASEAN, Indonesia perlu mengikuti Malaysia yang tahun lalu mengumumkan rencana penghapusan hukuman mati,” tambah Usman.

Setidaknya terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang mengatur ancaman hukuman mati di Indonesia, di antaranya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Undang – Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api, Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat Ancaman Hukum Mati terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukum Terhadap Tindak Pidana Ekonomi.

Situasi Penerapan Hukuman Mati di Indonesia 2018

Dalam laporan global terbarunya, Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 308 orang narapidana mati hingga akhir 2018: 48 vonis mati pada tahun 2018, 39 diantaranya untuk kejahatan narkoba – 15 di antaranya adalah warga negara asing; delapan pembunuhan dan satu terorisme. Sebagai perbandingan, pada tahun sebelumnya 47 vonis mati baru dijatuhkan untuk terpidana di Indonesia, 33 vonis untuk kasus narkoba dan 14 untuk kasus pembunuhan. Sepuluh di antaranya dikenakan pada warga negara asing. Ini berarti walaupun terdapat sedikit penurunan jumlah vonis mati dan juga walaupun terdapat moratorium eksekusi, hukuman mati tetap dijatuhkan oleh sistem peradilan terutama karena tersedianya pasal-pasal hukuman mati di peraturan perundang-undangan. Hal ini menggarisbawahi pentingnya perubahan perundang-undangan, yang mana DPR dapat menjadi championnya.

Selain itu, penjatuhan vonis mati pada warga negara asing juga dapat berpotensi menimbulkan masalah diplomatik, dari mulai sulitnya membebaskan warga negara Indonesia yang saat ini menghadapi tuntutan dan vonis hukuman mati, hingga tuduhan bahwa Indonesia menerapkan standar ganda.

Standar Ganda Kebijakan Dalam dan Luar Negeri

Amnesty International juga mencatat setidaknya ada dua warga negara Indonesia di luar negeri yang dieksekusi mati pada tahun 2018. Mereka adalah Muhammad Zaini Misrin dan Tuti Tursilawati. Keduanya dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi dan mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil Indonesia.

Menghapuskan hukuman mati bisa mempermudah upaya diplomasi Indonesia di forum internasional untuk menyelamatkan kurang lebih 188 warga negara Indonesia yang saat ini menjadi terpidana mati di luar negeri.

“Bagaimana Indonesia dapat meyakinkan negara lain untuk mengampuni warganya agar bebas dari jeratan hukuman mati di luar negeri jika masih memiliki peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar peradilan untuk mempraktikkan hukuman yang tidak manusiawi ini di dalam negerinya sendiri?,” Usman Hamid menambahkan.

Bukan cara yang efektif untuk memberantas kejahatan narkoba

 

Data vonis mati yang dijatuhkan pada tahun 2018 dalam laporan Amnesty International terbaru ini jelas memperlihatkan bahwa mayoritas hukuman mati tersebut dijatuhkan untuk terpidana mati kasus-kasus terkait narkoba.

Namun sulit untuk membuktikan kebenaran klaim pemerintah Indonesia bahwa mengeksekusi mati terpidana perdagangan narkoba dapat memberantas kejahatan tersebut. Tidak ada bukti ilmiah yang meyakinkan yang menunjukkan bahwa hukuman mati adalah pencegah kejahatan yang lebih efektif daripada bentuk hukuman pidana lainnya.

Sebaliknya, data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang diterima oleh Amnesty International menunjukkan bahwa jumlah kasus narkoba terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, bahkan ketika pemerintah telah mengambil langkah-langkah keras dengan mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba maupun melakukan penggunaan kekerasan dalam kegiatan-kegiatan pemolisian yang berhubungan dengan kasus-kasus tersebut.

Pada 2015, misalnya, Indonesia mengeksekusi 14 terpidana mati. Namun jumlah kasus narkoba terus meningkat di tahun yang sama yaitu mencapai 644 kasus. Lalu pada Juli 2016, Kejaksaan Agung kembali mengeksekusi 4 orang, semuanya kasus narkoba. Tidak lama berselang BNN merilis data 2016 yang lagi-lagi memperlihatkan kenaikan kasus narkoba menjadi 881 kasus. Meski BNN dan Kepolisian melakukan pendekatan tembak di tempat bagi terduga kasus narkoba, kasus narkoba mencapai 990 kasus di tahun 2017 dan 1.037 di tahun 2018.

Kepolisian dan BNN, sayangnya, terus melakukan tembak di tempat bagi orang yang diduga bandar narkoba. Data dari Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di akhir tahun 2017 menunjukkan sebanyak 79 orang ditembak mati terkait kasus narkoba. Angka tersebut berbeda dengan hasil pemantauan Amnesty International. Organisasi ini menemukan setidaknya 99 orang ditembak mati dalam penindakan kasus narkoba di tahun 2017.

Secara terpisah, BNN menyatakan telah menembak sebanyak 15 orang yang diduga terlibat kasus narkoba pada 2017 dan 16 orang pada 2018. Tapi sekali lagi, hasil pemantauan Amnesty International menemukan setidaknya ada 23 orang ditembak mati oleh BNN di tahun 2017, dan jumlah yang sama kehilangan nyawanya karena ditembak oleh badan tersebut juga terjadi pada 2018.

“Jika klaim pemerintah benar bahwa mengekusi mati orang yang terlibat narkoba akan bisa memberikan efek pencegahan (deterrent effect) kepada masyarakat, harusnya angka kasus narkoba sudah menurun dari tahun 2015. Namun fakta menunjukkan sebaliknya, meningkatnya sangat signifikan seakan tak terbendung. Sekali lagi, eksekusi mati tidak memberi efek gentar kepada pengedar narkoba di Indonesia. Akibat masih melaksanakan hukuman mati, negara kita bisa dianggap ketinggalan zaman oleh negara luar, padahal dalam debat kandidat presiden putaran keempat kemarin, Presiden ingin membawa Indonesia ke zaman digital dan modern. Hukuman mati adalah warisan kuno yang ditinggalkan negara-negara modern.” Usman Hamid, menutup.

Kesenjangan antara teori efek cegah dengan kenyataannya juga terjadi dalam hal tindak pidana lainnya seperti pembunuhan dan terorisme. Belum ada riset yang membuktikan ada korelasi antara penjatuhan hukuman mati dan penurunan jumlah kedua tindak pidana tersebut.

“Malah dalam kasus terorisme, kematian telah diglorifikasi oleh pelaku kejahatan terorisme sebagai tujuan yang mulia. Karena menurut mereka hal tersebut merupakan salah satu jalan melakukan ‘tugas suci,” tegas Usman.

Penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi

 

Amnesty International menolak penerapan hukuman mati tanpa terkecuali dalam kasus apa pun dan dengan metode apa pun. Hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia tersebut jelas melanggar hak untuk hidup yang dijamin Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM).

“Kami tidak menolak penghukuman pelaku-pelaku kriminal yang memang seharusnya dihukum atas perbuatan mereka. Yang kami tolak adalah penggunaan hukuman kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Apa pun kejahatannya, seseorang tidak boleh dihukum dalam kondisi yang tak manusiawi di penjara, apalagi untuk kemudian dirampas hak hidupnya,” kata Usman.

“Hukuman mati ini sama kejam dan tidak manusiawinya dengan hukuman rajam hingga mati yang diterapkan oleh Brunei untuk LGBTI,” tambah Usman.