Tantangan global: Represi kebebasan sipil dan standar ganda perlindungan HAM

  • Laporan tahunan Amnesty Internasional tahun 2022 menyoroti standar ganda terhadap hak asasi manusia tingkat global dan kegagalan komunitas internasional untuk menyatukan penerapan hak asasi manusia dan nilai-nilai universal.  
  • Hak-hak perempuan dan kebebasan berdemonstrasi terancam sejalan dengan negara yang gagal menghormati hak warganya. 
  • Di Indonesia, kebebasan sipil terus terancam. Ancaman terhadap pers, pembela HAM dan masyarakat luas yang menyuarakan ketidakadilan terus terjadi.  

Laporan Amnesty Internasional “Situasi Hak Asasi Manusia Global” menemukan bahwa standar ganda dan respons yang tak memadai terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) memicu impunitas dan instabilitas, termasuk di dalamnya keengganan berbagai negara untuk mengkonfrontasi sistem apartheid Israel terhadap warga Palestina.  

Laporan ini juga menyoroti taktik penggunaan kekuatan oleh China untuk menekan respon masyarakat internasional terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara ini, dan juga kegagalan institusi global serta regional—yang terhalang oleh kepentingan-kepentingan anggotanya—untuk merespons konflik yang telah membunuh ribuan orang di Ethiopia, Myanmar, dan Yaman.   

“Invasi Rusia terhadap Ukraina adalah contoh kecil dari apa yang bisa terjadi ketika negara beripikir mereka bisa menghindari hukum internasional dan melanggar hak asasi tanpa konsekuensi,” kata Agnes Callamard, Sekjen Amnesty Internasional.  

“Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diprakasai 75 tahun lalu, pasca berakhirnya perang dunia II. Nilai utamanya adalah kesadaran universal bahwa setiap orang memiliki hak dan kebebasan yang fundamental. Untuk itu, prinsip-prinsip HAM harus diaplikasikan secara konsisten untuk semua orang di manapun mereka berada.” 

Standar ganda yang memicu kekerasan lebih jauh 

Invasi Rusia terhadap Ukraina memantik satu dari sekian banyak kedaruratan hak asasi manusia dan humaniter terburuk sepanjang sejarah Eropa. Konflik tersebut tidak hanya menghasilkan pengungsian massal, kejahatan perang, kerentanan energi dan pangan global, melainkan juga melahirkan wacana akan terjadinya perang nuklir.  

Negara-negara Barat melakukan respons yang begitu cepat dengan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Moskow dan mengirimkan bantuan militer ke Kyiv, Pengadilan Pidana Internasional membuka investigasi atas indikasi kejahatan perang di Ukraina dan Majelis Umum PBB mengadakan voting untuk mengutuk invasi Rusia yang didefinisikan sebagai tindakan agresi. Namun demikian, respon keras  ini sungguh kontras dengan respons sebelumnya terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan Rusia dan negara-negara lainnya, serta respons memalukan lain terhadap kejadian di Ethiopia dan Myanmar.   

“Jika sistem yang sama bisa membuat Rusia bertanggungjawab terhadap kejahatan di Chechnya dan Suriah, ribuan orang mungkin dapat diselamatkan. Namun, yang terjadi justru penderitaan dan kehancuran,” terang Agnes Callamard. 

“Apabila perang Rusia menggambarkan sesuatu tentang masa depan dunia, hal itu adalah pentingnya penerapan efektif dan konsisten dari tatanan internasional yang berbasis aturan. Semua negara harus meningkatkan upaya untuk mewujudkan tatanan berbasis aturan baru yang bermanfaat bagi siapapun dan di manapun.” 

Untuk Warga Palestina yang mendiami wilayah Tepi Barat, 2022 adalah salah satu tahun paling mematikan sejak PBB mulai mendokumentasikan laporan yang sistematis di tahun 2006, dengan setidaknya 151 orang -termasuk anak-anak- terbunuh oleh tentara Israel. Otoritas Israel melanjutkan mengusir warga Palestina dari pemukiman mereka, dan  mengeluarkan rencana untuk mengekspansi pemukiman ilegal secara drastis di daerah Tepi Barat yang telah diokupasi.  

Negara-negara Uni Eropa membuka perbatasan mereka pada warga Ukraina yang melarikan diri dari agresi Rusia. Ini menunjukan bahwa sebagai salah satu blok terkaya di dunia, mereka lebih dari mampuu untuk menerima penyintas yang mencari keselamatan dan memberikan mereka akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, serta tempat tinggal. Namun, banyak di antara kelompok negara ini yang menutup perbatasannya terhadap mereka yang melarikan diri dari represi di Suriah, Afghanistan, dan Libya.   

“Respons terhadap invasi Rusia kepada Ukraina memberi kita beberapa contoh mengenai apa yang dapat dilakukan ketika ada kemauan politik. Kita telah melihat munculnya desakan global, investigasi kejahatan, dan terbukanya perbatasan untuk pengungsi. Respons ini harus menjadi tolak ukur bagaimana kita menangani semua pelanggaran HAM,” ungkap Agnes Callamard. 

Standar ganda Barat membuat negara seperti Cina semakin berani, dan memungkinkan negara seperti Mesir dan Arab Saudi untuk menghindar, mengabaikan, dan membelokkan kritik terhadap rekam jejak hak asasi manusia mereka.  

Meskipun terjadi pelanggaran HAM berat, yang mengarah ke sejumlah kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya, Beijing lolos dari desakan Majelis Umum, Dewan Keamanan, dan Dewan HAM PBB.  

Dewan HAM PBB membuat Pelapor Khusus untuk situasi hak asasi manusia di Rusia dan sebuah mekanisme penyelidikan di Iran menyusul protes yang membunuh banyak orang. Namun, badan PBB ini memutuskan untuk tidak melanjutkan penyelidikan atau bahkan mendiskusikan temuan PBB sendiri terhadap potensi kejahatan kemanusiaan di Xinjiang, Cina, dan tidak menindaklanjuti resolusi tentang Filipina.  

“Negara menerapkan hukum hak asasi manusia dengan mekanisme kasus per kasus yang menunjukan kemunafikan dan standar ganda. Negara tidak mampu mengkritik pelanggaran HAM di dalam dan lemah terhadap kekerasan serupa di negara lain hanya karena kepentingan mereka ada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Hal ini secara tidak sadar merusak seluruh esensi dari hak asasi yang universal,” ungkap Agnes Callamard. 

“Kita juga membutuhkan negara-negara, yang sejauh ini gagal, untuk melawan pelanggaran HAM. Kita membutuhkan lebih sedikit kemunafikan, lebih sedikit sinisme, dan kita membutuhkanlebih banyak konsistensi, berprinsip dan langkah ambisius oleh semua negara untuk mempromosikan dan melindungi setiap hak.” 

Represi kritik damai di berbagai belahan dunia 

Pada tahun 2022, pengkritik pemerintah Rusia dibawa ke pengadilan dan media massa setempat ditutup hanya karena menyoroti perang di Ukraina. Jurnalis dikriminalisasi di Afghanistan, Ethiopia, Myanmar, Belarus, dan di puluhan negara lainnya ketika konflik terjadi.   

Di Australia, India, Indonesia dan Inggris, pemerintah mengesahkan peraturan yang membatasi demonstrasi sementara Sri Lanka menggunakan kekuatan berlebihan untuk membubarkan protes terkait krisis ekonomi. Hukum di Inggris memberikan polisi kekuasaan yang luas, termasuk wewenang untuk melarang “demonstrasi yang dianggap gaduh,” mengesampingkan kebebasan berekspresi dan demonstrasi damai.   

Teknologi digunakan sebagai senjata untuk membungkam banyak orang dan mencegah demonstrasi publik atau menyebarkan disinformasi. 

Pemerintah Iran menghadapi perlawanan yang tak pernah dialami sebelumnya dalam menentang represi terus-menerus dengan mengerahkan kekuatan yang justru melanggar hukum, melalui penggunaan peluru tajam, logam, gas air mata, dan aksi pemukulan. Ratusan orang, termasuk puluhan anak-anak, tewas.  

Perempuan menanggung beban ketika negara gagal 

Represi terhadap perbedaan pendapat dan pendekatan inkonsisten pada hak asasi manusia juga berdampak pada hak-hak perempuan.   

Di Pakistan, beberapa kasus yang menarik perhatian publik mengenai pembunuhan perempuan oleh anggota keluarganya dilaporkan sementara parlemen gagal mengadopsi peraturan mengenai kekerasan domestik yang tertunda sejak 2021. Di India, kekerasan terhadap perempuan dari kasta Dalit dan Adivasi, juga kejahatan berbasis kasta lainnya berujung pada impunitas. 

Afghanistan mengalami kemerosotan yang signifikan pada hak-hak perempuan terhadap tubuhnya sendiri, pendidikan, pekerjaan, dan akses terhadap ruang-ruang publik menyusul beberapa fatwa dari Taliban. Di Iran, polisi moral menangkap Mahsa (Zhina) Amini dengan kekerasan atas sikapnya terhadap penggunaan jilbab. Beberapa hari kemudian ia meninggal di dalam tahanan, dengan laporan adanya jejak-jejak penyiksaan, memantik protes yang meluas di seluruh negara itu yang mengakibatkan lebih banyak lagi perempuan yang terluka, ditangkap, atau terbunuh.  

“Hasrat negara untuk mengontrol tubuh perempuan, seksualitas, dan kehidupan mereka meninggalkan warisan buruk mengenai kekerasan, penindasan, dan penghambat potensi mereka,” ungkap Agnes Callamard.  

Institusi internasional yang disfungsional butuh perbaikan

Sistem dan institusi internasional -yang dimaksudkan untuk melindungi hak-hak kita -perlu diperkuat alih-alih dirusak. Langkah awalnya melalui pemberian dukungan dana penuh bagi mekanisme hak asasi manusia PBB, sehingga akuntabilitas dan investigasinya dapat dipertanggungjawabkan dan keadilan dapat ditegakkan.   

Amnesty Internasional juga mendesak agar badan pembuat keputusan yang penting di PBB, yakni Dewan Keamanan, direformasi untuk dapat memberikan suara kepada negara-negara dan situasi-situasi yang telah lama diabaikan, terutama di belahan selatan dunia.   

 “Sistem internasional membutuhkan reformasi serius untuk merefeleksikan kenyataan saat ini. Kita tidak dapat membiarkan anggota permanen Dewan Keamanan PBB terus memegang veto mereka dan menyalahgunakan hak istimewa mereka. Rendahnya transparansi dan efisensi atas proses pengambilan keputusan di dalam Dewan Keamanan menyebabkan seluruh sistem rentan dimanipulasi, disalahgunakan, dan menjadi disfungsional,” ungkap Agnes Callamard.  

Namun ketika pemerintah gagal memprioritaskan hak asasi manusia, gerakan hak asasi manusia menunjukan bahwa kita masih bisa menginspirasi dan menumbuhkan harapan dari orang-orang yang seharusnya dilindungi negara-negara ini.  

“Kita menyaksikan aksi-aksi protes ikonik, meliputi perempuan-perempuan Afghanistan yang berdemontrasi melawan fatwa Taliban dan perempuan Iran yang berjalan dan secara terbuka memotong rambut mereka dalam protes terhadap hukum wajib berjilbab. Jutaan orang yang ditindas secara sistematis oleh partriarki dan rasisme turun ke jalan menuntut masa depan yang lebih baik. Mereka melakukannya di tahun-tahun sebelumnya dan melakukannya lagi di tahun 2022. Ini seharusnya mengingatkan mereka yang berkuasa bahwa kita tak akan diam saja ketika mereka menyerang kehormatan, kesetaraan, dan kebebasan.” 

Penurunan kebebasan sipil di Indonesia 

Di saat para aktivis di berbagai belahan dunia tengah berjuang melawan represi terhadap kritik damai, masyarakat sipil di Indonesia juga mengalami hal serupa. Dalam laporan berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia,“ Amnesty International Indonesia menunjukkan bahwa negara terus-menerus menekan suara kritis dan membiarkan tekanan tersebut dilakukan pula oleh aktor non negara yang rata-rata berakhir dengan impunitas. 

Laporan ini memaparkan fakta tentang merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban sepanjang Januari 2019 hingga Mei 2022. 

Serangan dari atas diduga berasal dari aktor-aktor negara yang sayangnya didominasi oleh kepolisian, lembaga yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat dalam mengekspresikan pikiran, pendapat, atau kritik atas kebijakan negara. Sedangkan serangan dari bawah diduga berasal dari para individu dan kelompok non-negara, yang kerapkali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara. 

Laporan “Membungkam Suara, Meredam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia” disusun berdasarkan 52 wawancara dengan para aktivis, mahasiswa, advokat, jurnalis, pegawai pemerintah, termasuk bersumber dari berkas resmi perkara. Laporan tersebut mendokumentasikan tergerusnya ruang publik untuk kritik dan protes dalam tiga tahun terakhir akibat gelombang serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berserikat, keamanan pribadi, dan kebebasan dari penahanan sewenang-wenang. 

“Fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Mereka yang kritis, mereka yang memiliki pandangan berbeda, apalagi pandangan politik berbeda seperti yang diekspresikan orang Papua, dipersempit ruangnya,” sebut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. 

“Kerja-kerja aktivis, jurnalis dan para pembela HAM menjadi di bawah ancaman. Mereka yang memprotes kebijakan pemerintah diserang dengan narasi anti-pembangunan. Dan sayangnya aparat penegak hukum menjadi aktor penting di balik ini semua.” 

Insiden-insiden yang terjadi pada tahun 2022 sayangnya tidak berhenti dan masih berlanjut hingga tahun ini. Pada tanggal 27 Maret 2023, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur melimpahkan berkas perkara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kasus Fatia berjalan akibat laporan dari Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.  

Akhir pekan lalu, Heri Budiawan alias Budi Pego tiba-tiba ditangkap tanpa penjelasan oleh belasan anggota Polresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Penahanan Budi Pego didasarkan pada putusan kasasi Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara terhadap dirinya. 

Di bulan Maret ini pula, situs media Project Multatuli menjadi korban serangan digital setelah memberitakan ketidakwajaran polisi dalam mengusut kasus kekerasan seksual terhadap dua anak di Kabupaten Baubau, Sulawesi Tenggara.  

Akhir Januari lalu, aksi teror kembali menimpa jurnalis Jubi, Victor Mambor. Sebuah bom rakitan dilemparkan dan meledak di dekat rumahnya, di kelurahan Angkasa Pura, Kota Jayapura. 

Di bulan yang sama, seorang rohaniawan, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong alias Romo Paschal, sempat dilaporkan ke polisi oleh pejabat Badan Intelijen Negara di Kepulauan Riau dengan tuduhan pencemaran nama baik. Romo Paschal sebelumnya melaporkan dugaan sindikat perdagangan orang di wilayah itu. Alih-alih menindaklanjuti laporan Romo Paschal, polisi sebagai aparat penegak hukum justru mengkriminalisasi pelapor.  

“Dalam berbagai forum internasional, pemerintah selalu mengklaim Indonesia berkomitmen untuk menghormati HAM. Nyatanya, pemerintah selalu bersikap defensif tiap kali kritik mengenai situasi HAM dilontarkan, tanpa melakukan evaluasi terlebih dahulu,” tegas Usman. 

“Apalagi jika kritik itu disampaikan oleh komunitas internasional, pemerintah Indonesia selalu berdalih apa yang terjadi adalah urusan domestik yang tidak bisa dicampuri pihak luar. Padahal, hak asasi manusia adalah persoalan yang universal.” 

Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bulan Desember 2022 contohnya mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak dan menjadi sorotan tajam media asing. Kantor PBB di Indonesia bahkan menyebut KUHP baru mengancam kebebasan sipil. 

Kritik itu kemudian ditanggapi pemerintah Indonesia dengan memanggil pejabat tinggi lembaga antar negara tersebut. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan perwakilan PBB seharusnya berkonsultasi dengan Indonesia sebelum mengeluarkan pernyataan. 

“Sungguh ironis. Pihak lain diminta berkonsultasi sementara pemerintah sendiri seringkali mengabaikan proses konsultasi bermakna dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik,” kata Usman. (*)