“Tuo ye tehar nuo ye nehar: kalau orang lain bisa, tong juga harus bisa”.
Ini cerita Desi, aktivis dari Sorong, Papua, yang membangun komunitas anak muda Papua di tengah berbagai pelanggaran HAM.
Dua puluh enam tahun lalu, saya lahir di sebuah bus di Sorong, Papua Barat Daya. Papa saya biasa menjemput karyawan perusahaan dengan bus itu. Papa juga menggunakannya untuk moda transportasi umum di tahun 1998.
Pada masa itu, Indonesia tengah mengalami krisis ekonomi. Akses transportasi sangat sulit. Jalan yang harus dilalui untuk mengantar masyarakat ke pasar, dan anak-anak sekolah ke kota Sorong sangat rusak. Padahal, infrastruktur sangat penting untuk menunjang kelangsungan ekonomi dan pendidikan anak-anak di Sorong.
Di tengah krisis, saya mendengar banyak cerita tentang bagaimana papa saya kerap membantu masyarakat sekitar, mengantar mereka ke pasar dan sekolah. Bus dengan nama ‘Karunia 32’ yang erat dengan momen kelahiran saya itu, menjadi alasan ada ‘Karunia’ dalam nama saya.
Saya lahir di dalam bus yang dipenuhi oleh anak sekolah dan juga buruh tani yang hendak ke pasar, serasa kehadiran saya ke bumi disambut lekat dalam dekap oleh kehidupan dan perjuangan masyarakat di kota kelahiran saya. Dari situlah, kesadaran saya untuk ikut merawat kehidupan masyarakat di kota Sorong, dan di mana pun saya berada, tumbuh.
Ayah saya berasal dari Kabupaten Maybrat, suku Ayamaru. Ibu saya berasal dari Inanwatan sub suku Puragi. Saya tumbuh besar di tengah masyarakat Maybrat, suku Aifat. Saat ini, wilayah asal mama dan nenek saya menjadi wilayah operasi militer.
Melampaui halang rintang di masa kecil: merebut kembali keberdayaan
Saya tumbuh dan bersekolah berkat hasil kebun mama, yang berjualan di Pasar Remu, Kota Sorong. Sampai saat saya menulis ini, mama saya masih giat berjualan di tempat yang sama. Perempuan Papua yang hebat, adalah penggambaran yang tepat untuk mama saya. Mama adalah perempuan dengan prinsip dan tekad yang kuat. Dalam masa sulit, mama selalu memastikan anak-anaknya tidak tidur atau berangkat sekolah dengan perut yang lapar.
Menginjak usia sebelas tahun, mama dan papa saya bercerai. Tubuh dan jiwa saya terdampak: saat itu, saya mulai sering jatuh sakit. Saya yang semula selalu peringkat satu di sekolah pun kesulitan meraih peringkat.
Setelah mama dan papa saya berpisah, saya jarang sekali bertemu papa. Mama memutuskan untuk merawat kelima anaknya seorang diri. Di tengah semua itu, saya dan adik saya juga berhadapan dengan perisakan secara verbal maupun fisik dari murid-murid di sekolah saya yang baru. Pada 2017, papa saya meninggal dunia.
Perisakan yang dilakukan terhadap saya sempat membuat saya takut datang ke sekolah. Terkadang, saya bolos karena tak ingin dirisak lagi. Memasuki masa SMA, saya mulai memberanikan diri untuk melawan trauma perisakan itu. Kesadaran bahwa saya adalah harapan mama dan keluarga saya, mendorong saya untuk bangkit.
Merawat dan membesarkan lima anak seorang diri bukan hal yang mudah, tapi mama melakukan semua itu dengan keberanian dan ketulusan. Mama saya juga mendidik saya untuk tidak mendengarkan perkataan orang lain yang merendahkan. Mama selalu percaya bahwa saya anaknya yang cerdas. Semangat juang saya pun bangkit kembali.
Meraih mimpi setinggi bintang: berprestasi dan mengharumkan nama Papua
Sebelum papa meninggal, papa pernah berjanji membiayai impian saya untuk kuliah ke luar negeri. Namun, sebelum itu terwujud, papa saya telah lebih dulu dijemput oleh yang kuasa. Di tengah kedukaan, saya tetap berjuang untuk berprestasi.
Meski saya harus berganti transportasi umum hingga dua kali dari rumah untuk sampai ke sekolah, dan sering tidak punya ongkos untuk berangkat, saya mendapat peringkat 10 hingga 5 besar saat SMA.
Pada 2017, saya memasuki dunia perkuliahan. Biaya pendidikan tinggi yang mahal sempat membuat saya putus asa. Salah satu kerabat mama bahkan memarahi saya dan mengatakan “Ko kuliah untuk apa, supaya ko dibilang anak kuliahan? Tidak usah mimpi untuk kuliah, ko mama tidak mampu, jangan bikin susah saya punya kakak perempuan.”
Namun, mama saya tetap mendukung saya untuk berkuliah, bahkan mengatakan akan tidur dan banting tulang di pasar. Semangat dan kerja keras mama membuat saya kuliah dengan giat. Saya berkuliah di Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong dengan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Saya selalu bermimpi bisa mengunjungi berbagai negara. Saya pun mengikuti berbagai program internasional untuk mahasiswa seperti Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) dan The Ship for Southeast Asian and Japanese Youth Program (SSEAYP).
Pada 2020, saya juga menjadi juara 1 mahasiswa berprestasi se-Indonesia Timur. Saya pun mendapat beasiswa sejak semester 4 hingga lulus. Saya pun bisa membantu mama dan keluarga saya.
Di tengah keterbatasan ekonomi, tekad saya justru semakin kuat. Saya selalu percaya, jika saat tak punya ongkos pun saya bisa tiba di sekolah, maka uang bukanlah hambatan utama jika saya bertekad meraih mimpi saya.
Alhasil, berkat tekad kuat saya, saya bisa berprestasi dan mengunjungi sembilan negara secara mandiri, serta mendapat pengalaman dan pengetahuan. Saya membuktikan bahwa saya bisa membawa pengalaman dan pengetahuan saya sebagai perempuan Papua ke tingkat internasional.
Saya juga bertemu teman-teman dari seluruh dunia, yang menjadi kawan saya untuk berbagi cerita tentang Papua. Bersama mereka, saya bisa membuahkan berbagai gagasan tentang berbagai isu sosial untuk nantinya diwujudkan.
Sebuah penggalan ayat alkitab yang menguatkan saya: “mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Matius 7:7-8).
Kesadaran akan kesenjangan ekonomi dan masalah HAM di Papua
Sebagai anak perempuan pertama, saya membantu mama berjualan ke pasar. Saya melihat kesenjangan sosial ekonomi yang amat nyata di masyarakat. Para mama-mama Papua berjualan beralaskan karung. Situasi ekonomi mereka sangat sulit. Belum lagi persaingan dagang dengan pendatang dari luar yang datang ke Sorong, yang menjual pinang, sagu, hingga aksesoris khas Papua.
Iklim di Sorong juga tak menentu. Jika hari hujan, barang dagangan mereka penuh dengan becek air dan tanah. Apalagi, saat ini Sorong sering dilanda banjir. Situasi ekonomi mereka pun sangat sulit. Situasi ini juga dirasakan oleh mama saya dan banyak sekali perempuan Papua.
Berdasarkan catatan pemerintah Provinsi Papua Barat Daya, jumlah Orang Asli Papua (OAP) di Kabupaten Sorong sebanyak 45.439 jiwa. Di Kota Sorong, jumlah OAP mencapai 45.160 jiwa, dan penduduk non-OAP sebanyak 239.250 jiwa. Orang Asli Papua pun menjadi minoritas di tanahnya sendiri.
Meski Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Otsus) telah memuat mekanisme perwakilan OAP dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan, faktanya kepentingan kesejahteraan OAP belum terwakilkan.
Situasi kesulitan ekonomi, akses ke pendidikan dan layanan kesehatan, kemiskinan ekstrem, dan berbagai hambatan ke hak dasar kami lainnya tak ditanggapi oleh pemerintah secara efektif. Bahkan, kami kehilangan partisipasi dan kesempatan untuk mengontrol kebijakan dan wewenang pemerintah yang merugikan kami. Pelayanan, pelatihan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan yang tercantum dalam UU Otsus agar kami setara dengan yang lain pun belum sepenuhnya diwujudkan, padahal itu tangggung jawab negara.
Lahirnya Atap Papua: Komunitas Pemberdayaan Anak Muda Papua
Keresahan saya tentang masalah pendidikan dan kesejahteraan di Papua mengantarkan saya kepada panggilan hati untuk membangun sebuah komunitas: Awal Tantangan Aksi Produktif (ATAP) Papua. Atap Papua didirikan pada 20 Februari 2019 di salah satu rumah belajar Skuntabar. Atap Papua merupakan ruang bagi saya dan teman-teman untuk mendukung mama-mama dan juga orang-orang di wilayah saya.
Sebagai perempuan yang hidup dalam lingkungan sarat budaya patriarkis, saya ingin meruntuhkan tembok besar ketidakberdayaan yang dibisikkan untuk membatasi kami. Saya percaya kita mampu dan berhak merebut kembali hak-hak kita lewat berbagai cara, salah satunya berkomunitas.
Di Atap Papua, saya bersama kawan-kawan melakukan pembangunan kapasitas dan menjadi inkubator inovasi. Komunitas kecil kami penuh dengan mimpi dan semangat yang besar.
Saya bersama anak-anak muda Papua usia produktif mengorganisir komunitas ini. Banyak dari mereka terpaksa putus sekolah karena pemiskinan struktural. Kami menyelenggarakan berbagai program belajar seperti literasi, numerasi, bahasa inggris, dan seni budaya. Masyarakat setempat pun meminta kami membuat rumah belajar di lingkungan mereka.
Selain masalah banyaknya anak yang terpaksa putus sekolah, banyaknya orang tua yang tak punya pilihan selain fokus mencari nafkah juga membuat banyak orang tua terhambat dalam mendukung kualitas belajar anak mereka. Di tengah keterbatasan akses, pergantian kurikulum di tiap pergantian pemimpin negara tanpa dukungan adaptasi yang memadai pun sangat berdampak pada kualitas pembelajaran anak-anak Papua sehingga peran pendampingan orang tua dan relawan dalam pembelajaran menjadi semakin penting.
Banyaknya masalah dan hambatan akses ke pendidikan membuat saya menjadikan pendidikan sebagai salah satu fokus dalam pengorganisiran komunitas Atap Papua. Saya ingin mewadahi setiap pemuda yang ingin terlibat dalam proses belajar maupun upaya kerelawanan.
Atap Papua sebagai wadah untuk pulih dari trauma kolektif akibat kekerasan negara
Saat konflik Kisor pecah di Kabupaten Maybrat pada tahun 2021, banyak anak-anak terpaksa mengungsi ke kampung-kampung terdekat dari Maybrat bersama keluarga mereka. Sebagian dari mereka mengungsi di Kabupaten Sorong untuk berlindung.
Pasca penyerangan Pos Koramil di Kampung Kisor, wilayah itu jadi wilayah militer. Akibatnya, berbagai macam larangan diberlakukan. Ruang gerak masyarakat untuk bertani maupun berburu pun dibatasi. Sekolah-sekolah dijadikan pos militer, sehingga anak-anak terpaksa pindah sekolah atau dititipkan ke sekolah di wilayah lain yang lebih aman. Karena kendala akses dan situasi yang memanas, ada anak-anak yang akhirnya terpaksa putus sekolah.
Anggota komunitas kami berasal dari ragam latar belakang. Ada anak-anak yang orangtuanya bercerai, anak yang putus sekolah karena terpaksa mengungsi di tengah konflik, anak yang trauma karena pendekatan militer negara. Berjibaku dengan berbagai trauma, mereka juga ada yang terjebak pergaulan bebas dan kenakalan remaja.
Kami menyadari pentingnya belajar dan membahas HAM di komunitas kami. Awalnya, anak muda di komunitas kami sempat enggan, bahkan takut membicarakan tentang HAM. Jika membicarakan HAM, mereka takut didiskriminasi dan ditangkap aparat keamanan. Aparat keamanan memiliki catatan buruk tentang perlakuan diskriminatif mereka ke OAP. Perlakuan diskriminatif aparat juga menimbulkan banyak trauma.
Menyadari situasi ini, Atap Papua menjadi rumah aman bagi anak muda Papua yang ingin mengembangkan diri bersama-sama. Kami menggelar pelatihan manajemen konflik untuk membuat anak-anak muda melihat hukum dan HAM secara lebih luas. Mereka pun menyadari bahwa negara masih belum menghormati dan memenuhi hak-hak dasar mereka, bahkan melanggarnya. Situasi kekerasan yang traumatis di Papua sangat mempengaruhi kualitas pendidikan anak-anak di Papua.
Atap Papua: rumah bersama untuk anak muda Papua
Upaya yang kami lakukan untuk mendorong pemberdayaan anak muda Papua berbuah manis. Mereka memenangkan berbagai lomba dari ragam bidang: mulai dari literasi, kebudayaan, hingga tari dan pertunjukan busana di tingkat kota dan kabupaten.
Cinta dan rasa bangga anak-anak didik kami di Atap Papua saya rasakan begitu dalam. Saat saya ulang tahun, mereka menabung dan memberikan saya kue ulang tahun yang begitu cantik. Kebersamaan kami dalam setiap proses belajar lebih berharga dari uang dan harta.
Kami juga bersama-sama menumbuhkan kemandirian ekonomi komunitas ini. Kami berjualan sambil mewadahi usaha mikro kecil menengah (UMKM) milik mama-mama di Sorong dan sekitarnya, seperti Sanggar Karef Hamit milik pengrajin anak panah Aifat Timur dengan menggelar pelatihan ukir panah. Kami juga mendorong sanggar pengrajin lokal yang vakum, mendanai kegiatan UMKM dan kelompok tani Yahet yang diorganisir oleh mama saya.
Hela nafas saya penuh dengan rasa bangga setiap kali mengingat bagaimana kami bersama-sama menciptakan kebermanfaatan dari komunitas ini. Anak muda di komunitas kami saling mendukung dalam pengorganisiran, menumbuhkan kesadaran berkelanjutan untuk terus memperjuangkan hak mereka dan masyarakat di sekitar.
Mama Ina Hindom, salah satu penduduk lokal, berkata: ‘’Komunitas Atap Papua sudah memberikan ruang belajar dan berprestasi untuk anak-anak. Tong orang tua sudah sibuk urus makan dan minum.Selain percayakan anak-anak di sekolah, tong juga tidak kontrol anak kita mungkin mereka ini ada masalah belajar atau tidak.
Selain itu, komunitas ini bagus karena mendorong anak-anak muda di lingkungan yang terpengaruh hal-hal yang negatif untuk bisa ada kegiatan positif yang dong ikut lewat pelatihan atau kegiatan-kegiatan yang baik‘’.
Bapak Willem Saud, orang tua yang peduli dengan keberlangsungan budaya dan nilai-nilai moral dalam adat istiadat Papua mengatakan komunitas kami merupakan komunitas yang membuat para orang tua semangat untuk melestarikan budaya dan membangun pemberdayaan anak muda.
”Kami orang tua ini semangat, karena anak-anak muda di komunitas ini mendukung kita punya sumber ekonomi dan budaya,dan itu mendorong semangat kami orang tua. Kalau orang pendatang buat toko oleh-oleh khas Papua, kenapa kita tidak bisa? Sebagai orang tua, kita mendukung anak-anak muda kita di komunitas pemuda agar lebih memberikan manfaat yang maksimal. Orang Maybrat bilang “nehaf sau bonout sau” (satu hati, satu komitmen), istilah itulah yang harus kita praktikkan.”
Atap Papua mewadahi anak-anak untuk belajar dan berproses bersama-sama menuju pemulihan trauma yang membatasi mimpi dan semangat mereka di dunia pendidikan.
Saat ini, Atap Papua memiliki 20 relawan yang aktif bekerja untuk membina 132 anak di tiga rumah belajar seperti rumah belajar Skuntabar, Magisa dan St.Monika di Kabupaten Sorong.
Penulis: Desi Sentuf
Penyunting: Claudia Destianira