Menanggapi penangkapan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat kepolisian terhadap ratusan mahasiswa yang berunjuk rasa menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Bandar Lampung, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:
“Penanganan protes mahasiswa yang menolak UU Cipta Kerja di Lampung kembali menunjukkan kesewenang-wenangan polisi dalam menghadapi unjuk rasa.”
Penggunaan kekerasan, gas air mata, dan water canon kali ini seakan mengulang berbagai bentuk kekerasan polisi yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, termasuk kekerasan selama unjuk rasa terhadap UU Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu dan penggunaan gas air mata saat Tragedi Kanjuruhan pada 2022.
Ini sekaligus menjadi sinyal bahwa perbaikan di tubuh Polri tidak kunjung muncul, antara lain karena tidak tuntasnya pengusutan berbagai kasus kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai.
“Sebagai penegak hukum polisi harus memberi ruang bagi aksi penyampaian pendapat secara damai. Masyarakat berhak mengungkapkan kekecewaan mereka secara damai”
“Kami mendesak kepolisian di Bandar Lampung untuk segera membebaskan semua mahasiswa yang ditangkap secara sewenang-wenang sekaligus meminta Kepala Kepolisian RI untuk menindak tegas pejabat kepolisian berwenang yang lalai mematuhi peraturan dalam mengendalikan massa dan menghadapi penyampaian pendapat di muka umum.
“Kami juga mendesak Presiden Jokowi untuk mengevaluasi kinerja kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa damai. Represi terhadap unjuk rasa damai tidak boleh berulang terus-menerus.”
Latar belakang
Berdasarkan informasi kredibel yang diterima Amnesty International Indonesia disebutkan bahwa gabungan elemen mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Lampung Memanggil menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Lampung di Bandar Lampung Kamis (30/3) untuk menuntut pencabutan Undang-undang Cipta Kerja.
Para peserta aksi bergantian melakukan orasi politik. Sekitar pukul 15.30 WIB massa aksi dipukul mundur aparat keamanan dengan menggunakan water cannon dan tembakan gas air mata yang mengakibatkan kericuhan. Sedangkan kepada media, polisi mengklaim tembakan water cannon itu sesuai prosedur karena adanya tindakan yang tergolong anarkis saat aksi protes.
Dalam rekaman video yang diperoleh Amnesty International Indonesia, selain menembak water canon dan melakukan penangkapan, polisi juga tampak menembakkan gas air mata ke arah para mahasiswa peserta aksi saat sedang berjalan dengan relatif tenang di suatu jalan, yang membuat mereka berlarian dan situasi berlangsung ricuh. Lalu tampak seseorang yang disebut sebagai pengabdi bantuan hukum LBH Bandar Lampung akan ditangkap secara acak oleh aparat sebelum berhasil diselamatkan.
Pada saat yang bersamaan 48 orang, yang terdiri dari 45 mahasiswa dan 3 pedagang ditangkap dan digelandang ke Polres Bandar Lampung dan hingga Jumat siang (31/03) masih diperiksa dan belum dibebaskan. Hingga informasi ini diperoleh, LBH Bandar Lampung masih dalam proses inventarisasi data peserta aksi yang mengalami luka-luka. Namun, tercatat ada satu orang luka di bagian kepala dan satu lagi luka di bagian tangan.
LBH Bandar Lampung membuka posko pengaduan terkait dengan kekerasan dan brutalitas aparat terkait dengan pelaksanaan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Provinsi Lampung.
Pada demonstrasi UU Cipta Kerja sebelumnya di Desember 2020, Amnesty International Indonesia bekerja sama dengan Crisis Evidence Lab dan Digital Verification Corps memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan terpisah oleh polisi Indonesia selama aksi menolak UU Cipta Kerja yang terjadi antara 6 Oktober hingga 10 November 2020.
Dalam setiap penggunaan kekuatan, aparat keamanan wajib berpegang teguh pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement (CCLEO) dan UN Basic Principle on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (BPUFF).
Secara domestik, terdapat pula beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang diakui secara internasional. Khususnya ketentuan internal Polri seperti Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. (*)