Di Hari Internasional Melawan Hukuman Mati, yang jatuh setiap 10 Oktober, Amnesty International Indonesia dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menyerukan kepada para pihak berwenang di Indonesia untuk segera melakukan evaluasi terhadap semua kasus-kasus dengan vonis mati dengan pandangan untuk melakukan perubahan penghukuman, dan melakukan moratorium terhadap eksekusi mati sebagai langkah penting menuju penghapusannya.
Seruan ini menindaklanjuti keputusan Pemerintah RI yang untuk pertama kalinya menerima rekomendasi dari Dewan HAM PBB – lewat mekanisme Universal Periodic Review (UPR) pada September lalu – untuk “mempertimbangkan penerapan moratorium eksekusi mati dengan pandangan untuk menghapuskan hukuman mati; mempertimbangkan penerapan de jure moratorium hukuman mati dan memberikan keringanan terhadap vonis-vonis mati yang ada; dan akan mengambil langkah-langkah menuju penghapusan hukuman mati†(Rekomendasi No. 141.52).
Hal ini sejalan dengan perkembangan terkini terkait bermasalahnya beberapa kasus hukuman mati di Indonesia khususnya menyangkut aspek-aspek pelanggaran prinsip peradilan yang adil (fair trial principles).
Pertama, pada Januari tahun ini Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis mati PN Gunung Sitoli di Sumatera Utara terhadap Yusman Telaumbanua untuk kasus pembunuhan berencana dan mengubahnya menjadi vonis 5 tahun penjara. Kegagalan aparat penegak hukum dalam menentukan usia Yusman saat kejadian, digunakannya pengakuan lewat paksaan sebagai barang bukti, ketiadaan penterjemah Bahasa lokal, dan tidak kompetennya pengacara menjadi elemen unfair trial pada kasus ini.
Kedua, pada Juli tahun ini Ombudsman RI menyimpulkan bahwa Jaksa Agung telah melakukan eksekusi mati secara maladministrasi terhadap Humphrey “Jeff†Jefferson Ejike (pada 29 July 2016), seorang WN Nigeria pada kasus narkotika. Ombudsman RI menyatakan bahwa Jeff seharusnya tidak boleh dieksekusi mati karena masih memiliki proses pengajuan grasi yang belum diputus.
Ketiga, seusai pelaksanaan eksekusi mati terhadap 4 terpidana mati di Pulau Nusakambangan pada 29 Juli 2016, juru bicara pihak Kejaksaan Agung menyatakan bahwa alasan menangguhkan atau tidak dieksekusi matinya 10 terpidana lainnya – yang sudah masuk daftar eksekusi mati – adalah untuk memastikan tidak adanya kesalahan faktor yuridis atau non-yuridis.
Ketiga hal di atas harusnya sudah menjadi alasan kuat bagi para pihak berwenang untuk segera melakukan evaluasi komprehensif terhadap seluruh kasus-kasus vonis mati lewat suatu badan yang independen. Temuan-temuan riset yang dilakukan oleh organisasi-organisasi HAM, termasuk Komnas HAM telah mengangkat persoalan sistemik cacatnya sistem peradilan di Indonesia bila dibandingkan dengan prinsip fair trial internasional, yang wajib jadi jaminan untuk penanganan kasus-kasus hukuman mati.
Temuan-temuan tersebut berbicara soal ketiadaan akses pengacara bagi tersangka saat dia ditangkap dan diproses; pengunaan pengakuan tersangka sebagai bukti di persidangan walaupun diambil secara paksa atau lewat kekerasan; ketiadaan penterjemah khususnya bagi WN asing; eksekusi tetap dilaksanakan meskipun ada upaya gugatan hukum yang sedang berjalan; dan ditemukannya terpidana mati yang memiliki masalah disabilitas mental.
Di tahun ini pula bertepatan dengan tahun ke-40 Amnesty International meluncurkan kampanye global anti hukuman mati pada 1977di mana saat itu hanya ada 16 negara yang menghapuskan hukuman mati baik dalam sistem hukum mereka (de jure) dan secara praktik (de facto). Pada 2017 sudah ada 105 negara di dunia yang menghapuskan hukuman mati untuk segala macam kejahatan. Indonesia harus segera lebih dekat menuju arah penghapusan hukuman mati.
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati memiliki efek jera yang unik dibanding penghukuman lainnya. Statistik dari negara-negara yang telah menghapus hukuman mati menunjukan bahwa ketiadaan hukuman mati tidak menghasilkan peningkatan angka kejahatan di mana sebelumnya dikenai hukuman mati, termasuk kejahatan-kejahatan terkait narkotika.
Organisasi kami menentang penerapan hukuman mati bagi semua kasus di segala kondisi dan menganggap merupakan pelanggaran hak atas hidup, yang diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan merupakan penghukuman yang paling kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.