Menanggapi rencana kepulangan penyintas Syiah ke Sampang, Madura, setelah delapan tahun mengungsi di Sidoarjo, Jawa Timur, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:
“Pemerintah harus memastikan mereka bisa kembali pulang ke kampung halaman dengan aman, sukarela dan bermartabat, terlepas apakah pengungsi Syiah itu memutuskan untuk tetap pada keyakinan mereka atau mengikuti keyakinan mayoritas.”
“Sebagai pengelola negara, pemerintah seharusnya berada di garda terdepan untuk melindungi keamanan dan kemerdekaan tiap warganya untuk memeluk agama sesuai keyakinan. Bukan justru menyerah pada pihak-pihak yang intoleran dan melanjutkan praktik diskriminasi.”
“Aparat penegak hukum harus mengambil langkah-langkah efektif untuk memastikan perlindungan menyeluruh kepada semua penganut agama dan kepercayaan minoritas di Sampang secara khusus, dan di seluruh Indonesia secara umum.”
“Seluruh warga, tanpa terkecuali, harus dilindungi dan diberikan ruang untuk mempraktikkan keyakinan mereka secara bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan.”
Latar belakang
Pada tanggal 5 November 2020, pembaiatan warga Syiah yang mengungsi delapan tahun di Sidoarjo, Jawa Timur, dilakukan di Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur. Pembaiatan ini difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Sampang setelah Tajul Muluk – salah seorang pemimpin komunitas Syiah di Madura – mengirim surat bermaterai kepada Pemerintah Kabupaten Sampang yang berisi permohonan baiat kembali ke ajaran Sunni, pada tanggal 10 September 2020.
Dalam laporan media, Tajul Muluk menyatakan terdapat lebih dari 300 warga Syiah yang berkomitmen memeluk Sunni, dan menyebut ada beberapa keluarga yang tetap menganut Syiah. Tajul juga mengatakan, tidak ada tekanan dari pihak manapun atas keputusannya dan ia juga tidak memaksa pengikutnya untuk memeluk Sunni.
Tajul Muluk dan warga Syiah Sampang mengungsi ke Sidoarjo setelah muncul penentangan dan kekerasan terhadap komunitas Syiah dari mayoritas Sunni setempat yang bermula sejak tahun 2006, lalu muncul kembali di tahun 2011, dan memuncak setahun setelahnya. Pada tahun 2012 ini, sekelompok massa melakukan pembakaran, kekerasan dan pengusiran terhadap warga Syiah Sampang di Desa Karang Gayam dan Blu’uran yang menyebabkan ratusan rumah terbakar, puluhan orang luka-luka dan satu orang meninggal.
Kelompok minoritas Islam di Indonesia, seperti Syiah dan Ahmadiyah, seringkali mendapat penolakan dan perlawanan dari mayoritas Sunni. Pada 4 April 2020 lalu misalnya, Pemerintah Tasikmalaya, Jawa Barat, melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran dan Kepercayaan (Bakorpakem) mendatangi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Singaparna yang sehari-hari melakukan ibadah di Masjid Al-Aqso. Mereka memberikan dokumen SKB (Surat Keputusan Bersama) – tertandatangan 27 Januari 2020 – yang berisi tentang pelarangan renovasi Masjid Al-Aqso dan pelarangan kegiatan JAI di Kampung Badakpaeh, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna.
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang salah satu poinnya adalah pengakuan terhadap hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing telah dijamin dalam Pasal 18 ICCPR dan Komentar Umum No. 18 terhadap Pasal 18 ICCPR, yang intinya menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”
Selain itu, Indonesia menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui konstitusi UUD 1945, yaitu Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2). Selain itu, jaminan kemerdekaan untuk memeluk dan beribadah sesuai kepercayaan juga dilindungi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 ayat (1) dan (2).