Guna mendukung keluarga korban dalam mencari keadilan, Amnesty Internasional Indonesia menyerahkan 1.796 surat yang mendesak Jaksa Agung untuk melaksanakan kewajibannya untuk segera menuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi Semanggi I dan II.
Jaksa Agung Republik Indonesia Burhanuddin ST harus segera mengakui dan menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat Tragedi Semanggi I dan II, kata Amnesty International Indonesia hari ini.
Dalam keputusan No: 99/G/2020/PTUN-JKT pada 4 November lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menilai Jaksa Agung telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat. Namun, Tim Kuasa Hukum Jaksa Agung telah menyatakan rencananya untuk mengajukan banding atas keputusan tata usaha tersebut.
“Rencana Jaksa Agung untuk banding semakin menunda keadilan bagi korban dan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
“Amnesty mendesak Jaksa Agung untuk menerima keputusan tersebut dan segera menuntaskan penyelidikan ke kasus HAM masa lalu, termasuk Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.”
Maria Katarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), salah satu korban penembakan Tragedi Semanggi I, juga menyatakan harapannya agar tim Kejaksaan Agung mencabut niatan banding keputusan PTUN.
“Saya selaku keluarga korban mengeluarkan gugatan ini bukan karena dendam kepada Kejaksaan Agung, melainkan meminta agar institusi negara melakukan kewajibannya,” kata Sumarsih, panggilan akrab ibunda Wawan ini.
Ibu Sumarsih tidak berjuang sendiri. Melalui kampanye penulisan surat Pesan Perubahan atau PENA, Amnesty International Indonesia mengajak publik menyuarakan dukungan terhadap perbaikan kondisi HAM di Indonesia dan mendesak pemerintah mengambil langkah nyata untuk memenuhi, melindungi dan menghormati HAM.
“Kami berharap surat-surat ini dapat mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat dan memastikan hak atas keadilan bagi seluruh korban dan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II,” kata Usman.
“Banyaknya jumlah penulis surat yang menyuarakan kasus ini menjadi harapan bagi kami agar DPR dapat melakukan introspeksi. Sebagai lembaga pengawasan pemerintah Indonesia, DPR bertanggung jawab untuk mendorong dan mendesak pelanggaran HAM berat agar dapat segera diselesaikan,” kata Sumarsih.
Selain mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, kampanye PENA tahun ini mengangkat isu perlindungan hak tenaga kesehatan di masa pandemi COVID-19, penuntasan kasus pembunuhan Munir Said Thalib, pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dan pembebasan tahanan hati nurani dan perlindungan kebebasan berekspresi di Papua.