Menanggapi tragedi di Sumatra yang menewaskan lebih dari 600 orang, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:
“Kami berbelasungkawa sedalam-dalamnya bagi korban banjir Sumatra. Ini jelas bencana ekologis akibat kebijakan industri ekstraktif pemerintah sendiri. Pemerintah harus berhenti menyalahkan cuaca ekstrim sebagai penyebab banjir dan longsor. Faktanya deforestasi di wilayah Sumatra memang tinggi. Kerentanan ekologis terus meningkat akibat perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan.
Walhi mencatat, di ketiga wilayah yang terdampak banjir dan longsor, ada 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM. Laporan kami, Amnesty International pada 2016 menunjukkan perkebunan kelapa sawit digarap dengan menggunduli hutan dan ini memicu masalah lingkungan hidup serius, termasuk hancurnya habitat orangutan dan harimau Sumatera.
Kerusakan ekologis akibat kebijakan industri ekstraktif nyata adanya. Kami mendesak pemerintah untuk menetapkan status darurat nasional. Agar kekuatan dalam dan luar negeri bisa dikerahkan untuk menolong korban. Kami mempertanyakan keengganan menerapkan status darurat. Apa karena takut asing seperti retorika selama ini? Retorika itu kini semakin terbukti menyembunyikan relasi pemerintah dan asing dalam proyek yang merusak hutan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
Asing yang harus ditakuti adalah asing yang merusak hutan. Bukan asing yang justru ingin menolong manusia tanpa membedakan asal usul kebangsaan. Indonesia didirikan oleh proklamator dan pejuang kemerdekaannya untuk menjadi warga dunia. Masyarakat dunia sangat diperlukan untuk mendukung penyelamatan nyawa dan bantuan bagi mereka yang kehilangan rumah dan mata pencaharian.
Tragedi ini ialah pengingat akan kewajiban Indonesia untuk memastikan segala kebijakan harus konsisten dengan hak asasi manusia, hak satwa dan lingkungan hidup. Pemerhati lingkungan telah memperingatkan Indonesia akan meningkatnya bahaya deforestasi di berbagai wilayah seperti Sumatra. Namun itu sering kali diremehkan. Pemerintah menutup mata dan hati dengan memilih perluasan perkebunan sawit.
Ini adalah krisis iklim yang disebabkan manusia, membuat peristiwa cuaca ekstrem lebih mematikan karena memicu banjir besar dan tanah longsor yang besar. Masyarakat yang terkena dampak bencana ini hampir tidak berkontribusi apapun – apa terhadap emisi gas rumah kaca, namun mereka yang harus membayar kelambanan pemerintah terhadap perubahan iklim dan mengatasi deforestasi.
Tidak ada solusi untuk kehancuran ini tanpa peta jalan keadilan iklim. Tidak ada keadilan iklim tanpa hak asasi manusia. Indonesia harus menghentikan pembabatan hutan. Legal atau ilegal hanya status formal yang tidak boleh mengabaikan pembabatan hutan, hak asasi manusia, dan juga hak hidup para satwa Indonesia yang indah dan beraneka ragam.
Latar Belakang
Berdasarkan catatan WALHI, bencana banjir ini disebabkan oleh kerentanan ekologis yang terus meningkat akibat perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan, diperparah oleh krisis iklim. Periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM.
Hingga Senin malam 1 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan jumlah korban meninggal akibat banjir dan tanah longsor di Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat bertambah menjadi 604 orang.
Celios mencatat terdapat kerugian setidaknya 68,6 triliun akibat bencana ekologis di Sumatra.
Laporan Amnesty Internasional terkait skandal perkebunan kelapa sawit dapat dibaca pada tautan ini.

