Ilham Mahmudi dan Taufik, dua nelayan asal Sumatera Utara, diadili di tengah upaya mereka menyelamatkan desa mereka yang terancam tenggelam. Mereka menghadapi ancaman hukuman maksimum lima tahun enam bulan penjara atas dugaan penggunaan kekerasan secara bersama-sama dan perusakan barang.
Komunitas lokal dan para pendamping hukum memandang tuduhan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi yang tidak adil terhadap aktivis lingkungan. Bersama masyarakat sekitar, kedua nelayan tersebut tengah berupaya melindungi hutan mangrove di desa mereka dari perambahan hutan, yang dikhawatirkan dapat menenggelamkan desa mereka.
Ayo kita desak pihak berwenang untuk memastikan proses hukum yang adil dan imparsial bagi Ilham dan Taufik serta memastikan terpenuhinya hak mereka atas peradilan yang adil (fair trial).
Kamu bisa membantu!
Salin surat di bawah ini, atau tulis surat dengan bahasamu sendiri, dan kirimkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Langkat, Yuliarni Appy, S.H., M.H., melalui:
Alamat: Jl. Proklamasi No 51, Kwala Bingai, Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Indonesia (20811)
atau melalui email ke: [email protected] dan [email protected]
Kamu juga bisa menuliskan pesan melalui Instagram dan Twitter dan mention @kejarilangkat!
Yth. Kepala Kejaksaan Negeri Langkat,
Saya ingin menyampaikan kekhawatiran saya untuk Ilham Mahmudi dan Taufik, dua nelayan dari Desa Kwala Langkat, yang saat ini sedang menghadapi persidangan pasca keterlibatan mereka dalam upaya menyelamatkan desa mereka yang terancam tenggelam. Bersama dengan penduduk setempat, kedua nelayan tersebut menolak perambahan hutan bakau oleh entitas swasta di desa mereka. Mereka khawatir perambahan hutan tersebut akan menyebabkan erosi pesisir pantai yang dapat mengancam keberlanjutan desa mereka.
Pada 15 Juli 2024, jaksa mendakwa Ilham dan Taufik atas dugaan keterlibatan dalam kekerasan secara bersama-sama dan perusakan dalam aksi penolakan perambahan hutan pada 21 Maret 2024, yang melibatkan perusakan sebuah barak di hutan. Mereka menjalani proses persidangan setelah ditahan selama beberapa minggu pasca penangkapan mereka secara terpisah pada 18 April dan 11 Mei 2024. Keduanya ditangkap tanpa surat perintah oleh personal kepolisian berpakaian sipil dan tidak didampingi oleh penasihat hukum dalam proses interogasi pertama mereka. Taufik telah dibebaskan dari penahanan pra-persidangan sejak 4 Juli, sementara Ilham masih berada dalam tahanan kejaksaan. Keduanya berisiko menghadapi hukuman maksimum lima tahun dan enam bulan penjara.
Sementara itu, warga Desa Kwala Langkat juga melaporkan bahwa mereka menerima intimidasi dan ancaman kriminalisasi karena menolak perambahan tersebut. Saya merasa resah dengan situasi ini, terutama di tengah upaya masyarakat sekitar untuk membela hak mereka atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan, serta hak para aktivis lingkungan untuk mendapat proses hukum dan proses peradilan yang adil.
Oleh karena itu, saya mendesak Anda untuk:
- Memastikan terpenuhinya hak-hak Ilham dan Taufik untuk mendapatkan peradilan yang adil (fair trial) sesuai dengan standar internasional. Penuntutan harus didasarkan pada bukti yang menunjukkan adanya dugaan yang masuk akal mengenai keterlibatan Ilham dan Taufik dalam perusakan barak. Tuntutan yang terlalu berat harus dihindari mengingat kerusakan yang diakibatkan sangat terbatas;
- Mematuhi asas praduga tak bersalah dengan membebaskan Ilham selama proses persidangan berlangsung, kecuali terdapat risiko nyata bahwa yang bersangkutan akan melarikan diri, membahayakan, atau mengganggu pengumpulan barang bukti atau proses hukum;
- Memastikan bahwa selama berada dalam tahanan, Ilham memiliki akses atas pendamping hukum pilihannya dan tidak mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, serta diberikan akses jaminan kesehatan dan pengobatan jika diperlukan;
- Saya juga memohon kepada pihak berwenang untuk memastikan bahwa semua pembela hak asasi manusia dan keluarga mereka, termasuk warga Desa Kwala Langkat, dapat menyuarakan protes mereka secara damai tanpa ketakutan akan adanya pelecehan, intimidasi, penahanan sewenang-wenang, atau pemenjaraan.
Hormat Saya,
Latar Belakang
Pada tahun 2014, penduduk Desa Kwala Langkat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, mulai merehabilitasi hutan mangrove di desa mereka, mengingat ekosistem mangrove sangat penting dalam mendukung mata pencaharian mayoritas warga desa sebagai nelayan. Namun, setelah beberapa tahun, aktivitas tersebut terhambat oleh aktivitas perambahan untuk kegiatan bisnis kelapa sawit di desa tersebut. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem mangrove mempengaruhi pekerjaan nelayan warga Desa Kwala Langkat, yang kini harus berlayar lebih jauh ke tengah laut untuk menangkap ikan, dan telah menyebabkan banjir ke desa mereka. Warga desa semakin khawatir akan terjadinya erosi yang lebih parah, mengingat desa tetangga, Desa Tapak Kuda, telah tenggelam akibat naiknya permukaan laut.
Pada Januari 2024, sebagian area hutan mangrove kembali dirambah untuk perkebunan kelapa sawi. Hal ini memicu penolakan dari warga desa yang kemudian melaporkan perambahan hutan tersebut ke Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara. Setelah menerima laporan tersebut, aparat kepolisian mengunjungi hutan dan menyita sebuah ekskavator pada 6 Februari 2024, namun pihak kepolisian tidak mengambil tindakan lebih lanjut untuk menyelidiki perambahan hutan. Karena frustrasi terhadap polisi yang tidak mengambil langkah konkrit, beberapa penduduk setempat merobohkan sebuah barak di hutan bakau yang digunakan oleh operator ekskavator untuk beristirahat.
Pada 22 Maret 2024, Ilham Mahmudi dilaporkan ke polisi atas dugaan keterlibatannya dalam perusakan gubuk oleh seorang pria yang terkait dengan kegiatan perambahan. Pada 18 April 2024, aparat kepolisian berpakaian sipil datang ke rumah Ilham dan menangkapnya tanpa surat perintah penangkapan. Saksi mata mengatakan bahwa Ilham diikat dan didorong ke dalam mobil. Ia tidak didampingi penasihat hukum selama interogasi pertamanya dan kemudian terpaksa diwakili oleh pengacara yang dipilih oleh pihak kepolisian sebelum pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mengambil alih kasusnya pada 26 April 2024. Tak lama setelah Ilham ditangkap, pada hari yang sama, beberapa warga desa dilaporkan melempar batu ke sebuah rumah milik seorang pria yang diduga berhubungan dengan kegiatan perambahan, mengakibatkan rusaknya beberapa jendela.
Sementara itu, Taufik pada awalnya ditangkap bersama nelayan lain, Safii, pada 11 Mei 2024, dan dituduh terlibat dalam perusakan rumah pada 18 April. Mereka ditangkap oleh polisi saat sedang memancing kerang di laut. Aparat kepolisian berpakaian sipil datang dengan speedboat dan menangkap keduanya tanpa surat perintah penangkapan dan mengancam akan menembak jika mereka menolak untuk ikut. Mereka juga tidak didampingi penasihat hukum selama interogasi pertama mereka pada 11 Mei sore, hingga pengacara dari LBH Medan datang dan menandatangani kuasa hukum pada malam hari yang sama. Menurut LBH Medan, bukti rekaman CCTV yang diajukan pemilik rumah kepada polisi sebagai bukti menunjukkan bahwa Taufik hanya berdiri di dekat area rumah sementara Safii berusaha mencegah warga desa merusak rumah pada hari kejadian.
Selama dalam tahanan polisi, Taufik juga diselidiki atas dugaan keterlibatannya dalam perobohan barak di hutan dan kemudian dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Pada 4 Juli 2024, dakwaan terhadap Taufik dan Safii dalam kasus 18 April dicabut dan proses hukum dihentikan setelah mereka menandatangani surat penyelesaian secara damai dengan pemilik rumah. Safii kemudian dibebaskan. Pada hari yang sama, Ilham dan Taufik dijadwalkan menjalani sidang pembacaan dakwaan, namun akhirnya ditunda karena pengacara Ilham dan Taufik sakit. Dalam persidangan, hakim memerintahkan pembebasan Taufik dari penahanan, sementara Ilham tetap berada dalam tahanan Kejaksaan Langkat sejak dia dipindahkan dari tahanan polisi pada 14 Juni 2024. Pada 15 Juli 2024, jaksa mendakwa Ilham dan Taufik dengan Pasal 170 (1) mengenai kekerasan secara bersama-sama dan Pasal 406 KUHP mengenai perusakan barang. Masyarakat sipil percaya bahwa proses hukum ini merupakan bentuk kriminalisasi yang bertujuan untuk membungkam upaya komunitas lokal dalam melestarikan ekosistem hutan bakau dan membela hak mereka atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.
Indonesia telah berkomitmen untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan mencapai emisi nol “pada 2060 atau lebih cepat” sebagai bagian dari upaya mengatasi krisis iklim. Namun, aktivis lingkungan di Indonesia semakin sering mengalami serangan dan kriminalisasi ketika negara dan pelaku ekonomi menganggap aktivitas mereka menghalangi pelaksanaan kebijakan pembangunan. Sejak Januari 2019 hingga Juni 2024, Amnesty International mencatat setidaknya 18 kasus penangkapan, serangan, dan intimidasi terhadap aktivis lingkungan yang membela hak mereka atas tanah dan lingkungan yang sehat, dengan 24 korban.