Negara masih berhutang untuk menghormati dan menegakkan hak asasi manusia (HAM) dalam Tragedi Semanggi. Tragedi ini adalah ironi Reformasi karena terjadi persis pada hari ketika MPR mengesahkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pada 13 November 1998.
Tragedi Semanggi adalah salah satu tragedi yang paling jelas bukti-buktinya. Peluru yang ditembakkan jelas berasal dari senjata apa. Pasukan yang ada di lokasi juga jelas berasal dari mana. Sayangnya, Tragedi ini belum ada proses hukum untuk menuntut dan mengadili pelaku lapangan maupun komando, demikian menurut Amnesty International Indonesia hari ini menandai 26 tahun Tragedi Semanggi I.
“Tragedi Semanggi I bukan sekadar sejarah belasan jiwa mahasiswa dan warga sipil biasa yang melayang akibat peluru tajam aparat. Peristiwa ini juga mengingatkan kita akan perjuangan mahasiswa pada era reformasi. Dari mulai mengadili mantan presiden Soeharto, membatasi kekuasaan presiden, hingga menghapuskan dwifungsi militer. Sayangnya kini, agenda Reformasi itu justru diinjak-injak oleh perilaku sejumlah elite politik. Hal-hal inilah yang terus diperjuangkan oleh para orang tua korban melalui Aksi Kamisan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
“Perjuangan untuk keadilan masih jauh dari kata tuntas. Kami tetap akan terus menuntut tanggungjawab negara, yang hingga kini masih gagal menegakkan keadilan bagi korban, bahkan terkesan ingin terus menutup peristiwa 1998 seolah bukan pelanggaran HAM yang berat,” lanjutnya.
Pada tanggal 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan pengakuan resmi atas 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi Semanggi I dan II. Pengakuan ini, yang sempat diharapkan sebagai langkah awal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, justru belum disertai tindakan nyata.
“Pengakuan tanpa upaya penegakan hukum hanyalah retorika kosong. Jaksa Agung memiliki tanggung jawab legal dan moral untuk mengusut pelaku dan menghadirkan keadilan bagi korban Tragedi Semanggi I. Ketiadaan langkah tegas ini menunjukkan kegagalan negara dalam menegakkan hak asasi manusia yang menjadi amanat Reformasi 1998,” kata Usman.
Tragedi Semanggi I terjadi di depan kampus Universitas Atmajaya dan area-area simpang susun Semanggi Jakarta pada 13 November 1998. Tragedi itu terjadi di tengah kuatnya gelombang demonstrasi mahasiswa dan rakyat biasa. Mereka menolak pejabat dan politisi era Orde Baru yang masih berkuasa, menuntut pengadilan atas mereka, menuntut pembatasan masa jabatan Presiden, dan juga menentang dwifungsi ABRI (kini TNI).
Namun aksi unjuk rasa itu ditanggapi dengan represif melalui pengerahan kekuatan yang eksesif, kekerasan, dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan.
Laporan media dan pernyataan pers Tim Relawan untuk Kemanusiaan tentang Tragedi Sidang Istimewa MPR Tanggal 10-13 November 1998 mengungkapkan sebanyak 17 warga sipil tewas dan 456 lainnya terluka dalam Tragedi Semanggi I.
Setahun kemudian, kekerasan berdarah juga terjadi pada Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 dengan menewaskan 11 warga sipil dan 217 lainnya menjadi korban luka.
Sejumlah polisi dan tentara diadili akibat insiden penembakan Tragedi Semanggi I dan II, namun pengadilan terhadap mereka gagal memenuhi keadilan bagi para korban dan gagal mengungkap dalang di balik penembakan.
Keluarga korban selama ini menuntut agar Tragedi Semanggi I dan II diproses melalui pengadilan HAM. Namun permintaan itu belum terpenuhi karena baik DPR, melalui keputusan veto Badan Musyawarah DPR pada 6 Maret 2007, maupun pemerintah, melalui pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020 berkilah bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat, seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Keluarga korban menggugat pernyataan Jaksa Agung tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Kabar positif sempat muncul ketika PTUN Jakarta pada Desember 2020 menyatakan Jaksa Agung melawan hukum.
Namun, Jaksa Agung tidak terima dan menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Hasilnya, PTTUN memenangkan Jaksa Agung sekaligus membatalkan putusan PTUN Jakarta.
Menindaklanjuti putusan PTTUN tersebut, pihak keluarga korban lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA pada 2 September 2021 menolak kasasi yang diajukan keluarga korban.
Pengadilan HAM: Buah reformasi yang diabaikan
Tragedi Semanggi I menjadi salah satu simbol perjuangan demi terwujudnya reformasi di Indonesia. Salah satu pencapaian besar dari reformasi ini adalah lahirnya instrumen hukum untuk mengadili pelanggaran HAM, yaitu Pengadilan HAM, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Pengadilan HAM sejatinya menjadi tumpuan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, termasuk dalam kasus Tragedi Semanggi I, yang menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat.
Namun, dua dekade lebih setelah undang-undang tersebut disahkan, harapan akan adanya keadilan bagi para korban Tragedi Semanggi I dan korban pelanggaran HAM lainnya justru tidak terwujud.
“Pengadilan HAM, sebagai buah reformasi, tampaknya diabaikan oleh negara dalam mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Pengadilan ini belum berpihak pada pengusutan kasus-kasus besar seperti Tragedi Semanggi I,” kata Usman.
“Negara melalui pemerintah, aparat hukum, Komnas HAM, dan seluruh otoritas terkait harus menindaklanjuti mandat Pengadilan HAM sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap kasus pelanggaran HAM berat adalah wujud penghormatan atas perjuangan para korban dan keluarga korban yang hingga hari ini masih menantikan keadilan,” lanjutnya.