Jangan lupakan kekerasan seksual dalam Tragedi Kerusuhan Rasial 13-15 Mei 1998

Memperingati 25 tahun Tragedi Kerusuhan Mei, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan seksual adalah memori sejarah yang melekat tentang Tragedi Mei 1998. Sayangnya hingga hari ini, belum ada upaya konkret dari negara untuk menuntaskannya.”

“Hasil temuan tim gabungan pencari fakta kala itu menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi secara sistematis dan terencana, dan negara juga sudah mengakuinya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Namun itu tidak cukup. Harus ada upaya nyata untuk mengusut tuntas tragedi ini.

“Kasus ini menimbulkan dampak serius terhadap korban dan warga masyarakat secara luas dengan memakan korban lebih dari seribu jiwa. Ditambah dengan kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998 tidak hanya melanggar hak-hak mereka untuk kebebasan dan integritas fisik, tetapi juga merusak martabat mereka secara emosional dan psikologis.”

“Para pelaku kekerasan, pemerkosaan dan pembakaran selama kerusuhan tersebut harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Gagalnya negara mengusut tuntas kasus ini akan memperkuat ketidakadilan dan memberikan sinyal negatif bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilakukan tanpa konsekuensi. Ini tidak hanya melanggar hak setiap warga untuk hidup dengan aman, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan dan trauma yang berkepanjangan terutama warga Tionghoa.”

Latar belakang

Peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 dipandang sebagai tragedi nasional yang sangat menyedihkan dan tercela bagi martabat serta kehormatan manusia, bangsa dan negara secara keseluruhan.

Kerusuhan dan kekerasan massal tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik masyarakat Indonesia pada saat itu, serta dampaknya yang meluas.

Peristiwa-peristiwa sebelumnya seperti Pemilu 1997, penculikan ​sejumlah aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR-RI 1998, aksi protes mahasiswa yang terus-menerus dilakukan, serta meninggalnya mahasiswa Universitas Trisakti dalam tragedi penembakan, semuanya berkaitan dengan peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998.

Pada 23 Juli 1998, Presiden Republik Indonesia B. J. Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang beranggotakan 17 orang dari gabungan unsur Pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan ormas lainnya. Dari proses pengumpulan data dan bukti selama tiga bulan, TGPF merilis Laporan Akhir pada 23 Oktober 1998.

Terkait jumlah korban kerusuhan, dalam ringkasan eksekutif laporannya, TGPF menyatakan sulit ditemukan angka pasti jumlah korban dan kerugian. Namun dalam laporan tersebut, TGPF memaparkan data yang beragam.

Untuk jumlah korban jiwa di Jakarta, TGPF mengungkapkan data versi Tim Relawan yaitu jumlah korban meninggal setidaknya 1.217 jiwa (1.190 akibat terbakar atau dibakar dan 27 lainnya akibat senjata atau dan lainnya), dan 91 luka-luka; sedangkan di kota-kota di luar Jakarta, 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.

Laporan TGPF juga mengungkapkan data jumlah korban versi Polda Metro Jaya/Polri, yaitu 451 orang meninggal di Jakarta dengan korban luka-luka tidak tercatat, sedangkan data korban di luar Jakarta tercatat 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar.

Sedangkan data korban versi Kodam Jaya di Jakarta, yaitu 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, dan 69 orang luka-luka. Data versi Pemda DKI, korban meninggal dunia 288 jiwa, dan luka-luka 101 orang.

Laporan TGPF juga mencatat bahwa terdapat perbedaan jumlah korban jiwa antara yang ditemukan tim dengan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini dikarenakan begitu banyak korban yang telah dievakuasi sendiri oleh masyarakat, sebelum ada evakuasi resmi dari pemerintah. Korban-korban ini tidak tercatat dalam laporan resmi pemerintah.

Terkait kekerasan seksual, laporan TGPF memaparkan bahwa 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 menjadi korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang menjadi korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang menjadi korban pelecehan seksual. Sebagian besar korban kekerasan seksual dialami oleh perempuan dari etnis Tionghoa. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.

Pelapor Khusus PBB untuk kebenaran, keadilan dan reparasi telah menyatakan bahwa kewajiban negara untuk menginvestigasi dan menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kewajiban yang ditegaskan dalam hukum kebiasaan internasional. Komite HAM PBB juga menyatakan bahwa kewajiban tersebut merupakan turunan dari hak atas ganti rugi yang efektif (effective remedy) dalam Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).