Grasi Merry Utami Harus Jadi Awal Moratorium Hukuman Mati

Merespons pemberian grasi kepada Merry Utami, terpidana mati kasus peredaran narkotika, oleh Presiden Joko Widodo, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengatakan:

“Pemberian grasi atau pengampunan kepada Merry Utami ini merupakan langkah yang tepat dilakukan oleh pemerintah. Bagi kami, selain tidak manusiawi, pemberian hukuman mati juga bukan solusi untuk memberikan efek jera dalam kasus narkotika.”

“Grasi yang diberikan kepada Merry seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengalihkan hukuman bagi semua terpidana mati yang masih menunggu eksekusi, menjadi penjara seumur hidup.

“Mereka yang berada di deret tunggu eksekusi mengalami penyiksaan ganda. Bahkan mantan Dirjen PAS terdahulu pernah mengatakan ada warga binaan yang melukai diri sendiri karena tekanan psikis dan mental.

“Kami mengapresiasi langkah pemerintah namun sekaligus mendesak agar segera dibuat peraturan yang mengalihkan hukuman mati untuk mereka yang berada di deret tunggu menjadi hukuman seumur hidup. Lebih jauh lagi, kami mendesak pemerintah untuk segera menghapuskan hukuman mati, menyusul langkah baik negara tetangga Malaysia dan juga 140 negara lainnya yang telah menghapuskan hukuman mati.

Latar belakang

Dalam keterangan kepada media Kamis 13 April 2023, pengacara Merry Utami, Aisyah Humaida menyebut bahwa kliennya menerima grasi pada 24 Maret 2023, yang mengubah status hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/G Tahun 2023.

Merry dijatuhi hukuman mati setelah dinyatakan bersalah atas kasus narkotika jenis heroin seberat 1,1 kg oleh Pengadilan Tingkat Pertama pada tahun 2002. Dia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan peninjauan kembali (PK) pada 2014, tetapi ditolak. Menurut pantauan Amnesty International, ini adalah kali pertama terpidana mati kasus narkotika mendapatkan grasi dari Presiden.

Menurut data yang dihimpun oleh Amnesty International Indonesia, ada setidaknya 114 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia pada tahun 2021, tidak jauh berbeda dengan vonis pada tahun 2020 (117 vonis). Sebanyak 94 atau 82% vonis mati tersebut dijatuhkan untuk kejahatan narkotika.

Hingga 31 Desember 2022, data pemantauan Amnesty International menunjukkan setidaknya 452 terpidana mati berada di deret tunggu eksekusi hukuman mati.

Berdasarkan pernyataan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen. Pol. Petrus Reinhard Golose pada Februari 2022, prevalensi pengguna narkotika di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2021 menjadi 3,66 juta, sedangkan tahun 2019 sebanyak 3,41 juta. Hal ini menunjukan bahwa asumsi menimbulkan efek jera, setidaknya untuk kasus narkotika, menjadi tidak terbukti.

Penelitian Amnesty International terhadap kasus hukuman mati di dunia menunjukkan jumlah vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia pada tahun 2021 sebagai salah satu yang terbanyak di kawasan Asia Pasifik. Padahal, di saat yang sama, semakin banyak negara, termasuk negara-negara tetangga, telah mengambil langkah-langkah untuk menghapus penggunaan hukuman mati.

Amnesty International dengan tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali – terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan.

Meski demikian, Amnesty International tidak menolak penghukuman terhadap pelaku tindak kejahatan. Apa pun jenis kejahatannya, apa pun latar belakang identitas pelakunya, bentuk hukuman kepada mereka harus bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia.