Menanggapi sidang perdana tiga tahanan hati nurani asal Papua Barat, Elias Wetipo, Marthen Samonsabra Oiwari, dan Yoran Pahabol di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:
“Kebebasan berekspresi, termasuk ekspresi politik, secara damai adalah hak yang harus dihormati negara. Aparat penegak hukum seharusnya memahami prinsip ini dan tidak menangkap ketiganya, apalagi sampai memproses hukum.
“Mereka harus segera dibebaskan tanpa syarat. Kami mendesak Kejaksaan untuk segera mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) untuk ketiga tahanan nurani ini. Negara selalu menggunakan pasal makar untuk merepresi pandangan politik damai orang Papua. Padahal mereka semata-mata menggunakan hak mereka untuk berkumpul dan berekspresi yang dilindungi oleh hukum internasional.
“Pasal makar seringkali digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis Papua dan Maluku yang memiliki pandangan politik berbeda. Karenanya, kami kembali menyerukan pemerintah dan DPR untuk mencabut pasal ini.”
Latar belakang
Pada hari Selasa 13 September 2022, Elias Wetipo, Marthen Samonsabra Oiwari, dan Yoran Pahabol berangkat dari Kota Jayapura ke Kota Sorong untuk agenda pertemuan konsolidasi data kependudukan distrik.
Di depan pintu kedatangan bandara Domine Eduard Osok Sorong, mereka membentangkan spanduk bertuliskan ”Kunjungan Kerja (NFRPB) Tahun 2022. Kabinet Pemulihan Negara Federal Republik Papua Barat, Agenda Penataan Struktur Pemerintahan dan Konsolidasi Data Kependudukan di Daerah Negara Bagian dan Distrik.”
Ketiganya kemudian melakukan orasi secara damai di depan para pendukung. Setelah berorasi, mereka bersama para pendukung melanjutkan perjalanan ke kantor Sekretaris NFRPB Doberai di jalan F. Kalasuat Gang Bangau 1 Kota Sorong Provinsi Papua Barat. Petugas Polres Sorong Kota lalu menangkap mereka.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sorong, disebutkan bahwa mereka telah melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah Negara Indonesia.
Amnesty International mengingatkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.
Meskipun kebebasan berekspresi dapat dibatasi, pihak berwenang harus memastikan bahwa segala pembatasan tersebut harus sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional, yaitu sesuai dengan hukum, mengejar tujuan yang sah, diperlukan dan proporsional untuk mencapai fungsi perlindungan mereka.
Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 24 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Perlu diingat bahwa Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun tentang status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan mereka. Namun, menurut kami, kebebasan berekspresi termasuk hak untuk secara damai mengadvokasi kemerdekaan atau solusi politik lainnya, asal tidak melontarkan hasutan dengan tujuan mendiskriminasi, memusuhi atau menyulut kekerasan harus dihormati dan dilindungi. (*)