Bebaskan Tanpa Syarat Viktor Yeimo dan Aktivis-aktivis Politik di Papua

Menanggapi vonis bersalah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura terkait protes antirasisme pada tahun 2019 terhadap aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Viktor Yeimo, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Meskipun kami menghormati Majelis hakim PN Jayapura menjatuhkan hukuman yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, kami menilai vonis bersalah menunjukkan pengabaian negara terhadap penghormatan hak asasi manusia. Kita perlu meninggalkan penggunaan pasal-pasal makar dan penghinaan dalam KUHP untuk menghukum aktivis dan pengunjuk rasa damai di Papua, Maluku, dan di mana pun.”

“Di Papua, pola kekerasan sudah berlangsung lama terhadap mereka yang mengadvokasi dan bahkan sekadar mempraktikkan kebebasan berekspresi serta pemenuhan hak-hak asasi manusia lainnya. Hukuman terhadap Viktor Yeimo hari ini hanyalah salah satu contoh dari kurangnya jaminan hak asasi manusia.”

“Ini akan mengirimkan pesan kepada para aktivis dan pengunjuk rasa lainnya bahwa perbedaan pendapat dan ekspresi pandangan mereka secara damai tidak ditolerir oleh negara. Padahal negara telah berkomitmen untuk menghormatinya.

“Kami mendesak negara untuk membebaskan Viktor Yeimo dan aktivis lainnya yang dipenjara hanya karena menyampaikan ekspresinya secara damai di Papua. Sebab itu semua dijamin oleh konstitusi.”

Latar belakang

Viktor Yeimo, aktivis dan juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), pada persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura Jumat 5 Mei dijatuhi hukuman delapan bulan penjara terkait dengan keterlibatannya pada aksi unjuk rasa antirasisme di Papua yang berujung kerusuhan pada Agustus 2019. Hukuman dari Majelis Hakim lebih ringan dari yang dituntut Jaksa Penuntut Umum, yaitu tiga tahun penjara.

Selain itu, dalam menjatuhkan vonis kepada terdakwa, Majelis Hakim menggunakan Pasal 155 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang berisi menyiarkan atau menunjukkan surat atau gambar yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, penghinaan atau merendahkan Pemerintah Indonesia.

Pasal yang digunakan Majelis Hakim itu berbeda dengan empat pasal yang digunakan Jaksa Penuntut Umum. Pada tanggal 21 Februari 2022, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Viktor Yeimo dengan empat pasal dalam KUHP, yaitu Pasal 106 tentang aksi makar, Pasal 110 Ayat 1 tentang permufakatan untuk makar, Pasal 110 Ayat 2 tentang mempersiapkan aksi makar, dan Pasal 160 mengenai penghasutan.

Salah satu kuasa hukum Viktor Yeimo, seperti dilaporkan media, menyatakan putusan hakim tersebut dikenal dengan istilah ultra petita, yaitu putusan yang melampaui dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum.

Viktor Yeimo membantah semua tudingan tersebut dengan mengatakan dirinya tidak terlibat dalam perencanaan aksi unjuk rasa anti rasisme pada 2019 dan hanya ikut aksi karena merasa terpukul atas perlakuan rasis terhadap orang-orang Papua.

Pihak berwenang di Indonesia telah menggunakan hukum pidana, terutama pasal makar, untuk mengadili puluhan aktivis politik damai pro-kemerdekaan di Papua yang secara sah menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai.

Menurut data pemantauan Amnesty International sejak 2019 hingga 2022, sedikitnya 78 orang di Papua telah ditangkap karena tuduhan melanggar pasal makar berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP lama.

Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3), Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Perlu diingat bahwa Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin bahwa setiap orang bebas untuk memiliki keyakinan politiknya serta untuk mengeluarkan pendapat sesuai hati nuraninya.

Hak atas kebebasan berekspresi, termasuk ekspresi politik, juga dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang selanjutnya dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 tentang Pasal 19 ICCPR. Perlu digarisbawahi bahwa Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang juga berarti bahwa Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut.

Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun tentang status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan mereka. Namun, menurut kami, kebebasan berekspresi termasuk hak untuk secara damai mengekspresikan pandangan atau solusi politik seseorang.